KITA (Another Side Story)
Aku keluar dari bandara, menghirup udara Indonesia
sebanyak-banyaknya, seolah-olah aku akan segera kehilangan baunya. Aku
tersenyum lebar.
Sambil berjalan menuju taksi terdekat, aku mengambil smartphone. Nomor Indonesia baru yang
aku beli sesaat setelah turun dari pesawat itu segera tersambung ke nomor
telepon yang paling kuingat.
Sial! Betapa ternyata
aku merindukan bocah ini, pikirku senang. Aku masuk ke taksi tercepat yang
kutemukan lalu menyebutkan sebuah alamat kafe. Ya, sebuah kafe.
“Halo?” sapa seorang perempuan di seberang. Aku hampir
terlonjak senang mendengar suaranya.
“Ini Rega,” jawabku singkat. Kemudian hening. Aku
mengerutkan kening, bingung dengan reaksi Seira.
“Kamu di mana?” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Tidak
terdengar sedikitpun perasaan senang seperti apa yang kurasakan. Aku sempat
kecewa menyadarinya.
“Aku baru keluar dari bandara. Meet up yuk. Kafe biasa ya. Aku otw ke sana,” kataku cepat. Hening
lagi. Rasanya aku hampir berteriak kesal karena reaksi Seira yang sama sekali
tidak terduga.
“Hm, oke,” hanya itu. Aku terperangah.
Aku mengacak rambutku sebal. Reaksi Seira benar-benar tidak
seperti yang aku harapkan. Tiba-tiba aku merasa takut menemuinya.
Setelah dua tahun aku tidak bertemu dengannya, setelah
hampir beberapa bulan aku tidak berkomunikasi dengannya karena jadwalku yang
sedang sibuk-sibuknya, aku menyadari bahwa aku merindukan bocah itu.
Bocah itu,
Seira, yang sejak kecil aku terbiasa dengannya, yang bahkan kadang aku lupa
bahwa dia itu perempuan. Seira yang dulu secara mengejutkan menyatakan
perasaannya padaku.
Aaargh! Sial! Sial!
Sial! umpatku dalam hati.
Sesampainya di kafe, aku mengambil tempat yang agak privat.
Meminta segelas coklat. Kuharap coklat
ini bisa sedikit menenangkan pikiranku yang mulai kacau.
Tidak sampai satu jam, ketika aku melihat sesosok perempuan
yang kukenal masuk ke kafe itu. Aku hampir terlonjak senang melihatnya. Seira
berjalan ke arahku sekarang, dan kusadari aku sedang menahan napas melihatnya
mendekat.
“Hai,” sapanya sambil duduk. Wajahnya tidak seceria yang
kuharapkan. Aku pikir setelah dua tahun tidak bertemu, dia akan terlihat
sumringah begitu melihatku. Lagi-lagi aku dibuat kecewa.
“Apa kabar?” tanyaku akhirnya. Seira yang baru saja selesai
memesan, menoleh ke arahku. Aku menangkap sesuatu di matanya.
“Nggak usah dijawab. Jawab aja yang ini: ada hal yang pengen
kamu bicarain?” tanyaku akhirnya. Aku membuang jauh-jauh rasa takutku yang
tiba-tiba menyerang. Mata Seira membulat.
“Aku kangen kamu,” jawabnya pelan dan singkat. Dia menunduk
sekarang, telinga kanannya memerah, menunjukkan bahwa dia benar-benar malu
mengatakannya. Aku tersenyum lega mendengarnya.
“Kamu nggak punya cowok baru, kan?” tanyaku lagi, sedikit
mengalihkan pembicaraan. Setidaknya, Seira tidak akan terlalu lama merasa malu.
Aku amati Seira yang pelan-pelan mengangkat wajahnya.
Matanya menatapku takut-takut. Saat itu juga kuputuskan, pasti ada sesuatu.
“Punya, Re,” jawabnya pelan. Bahkan lebih pelan dari
pernyataannya sebelumnya.
“Maaf,” katanya lagi. Kali ini Seira menunduk, lebih dalam.
Aku terkejut, sampai tidak bisa berkata apapun. Menatap puncak kepala Seira.
Rasanya ada yang aneh dalam hati. Aku sendiri tidak mengerti.
Kemudian aku tertawa hampa. Seira memandangku lurus. Hampir
sama dengan tatapannya ketika aku menertawakannya saat dia menyatakan
perasaannya padaku.
“Kamu minta aku tunggu kamu. Tapi tanpa kejelasan apapun.
Bahkan dalam komunikasi kita selama ini. Kamu tetep nggak mengungkit tentang
hal itu. Aku bisa apa? Aku udah mempermalukan diri di depanmu dengan menyatakan
hatiku,” Seira mengambil napas sebelum melanjutkan.
“Aku nggak mungkin minta sesuatu yang bahkan aku sendiri
nggak yakin dengan kepastiannya,” lanjutnya pelan tapi cukup membuatku membeku.
“Kadang aku bingung, Re. Aku nunggu apa selama ini, dan akan
terus nunggu sampai kapan?”
Setelah itu hening di antara kami berdua. Pesanan kami
datang, meski kemudian terabaikan.
“Aku tahu. Kamu sendiri butuh waktu untuk meyakinkan hatimu,
kan?” lanjut Seira sambil tersenyum.
“Aku rasa ini belum terlambat, Rega. Perasaanku bilang, kamu
bahkan masih belum yakin dengan perasaanmu padaku meskipun kamu minta aku
tunggu.”
“Mungkin kita cuma terlalu terbiasa satu sama lain,
sampai-sampai kita bingung harus memberi titel apa untuk perasaan ini,” Seira
menggenggam tanganku yang terkulai begitu saja di atas meja.
Aku memikirkan kata-kata bocah ini. Sejak kapan dia bisa
berpikir sedewasa ini? Bahkan sepertinya pikiran logisku dikalahkan dengan
kedewasaannya.
Aku menatap Seira. Dia juga memandangku hangat. Pelan-pelan
kata-katanya meresap ke dalam diriku. Mungkin aku memang terlalu terbiasa
dengannya, dengan kehadirannya, dengan keberadaannya di sekitarku. Mungkin hal
remeh itulah yang kemudian secara tidak langsung mengikat kami, menumbuhkan
perasaan ingin melindunginya lebih dari apapun. Mungkin hal itu jugalah yang
membuatku menyayanginya.
“Siapa pacar kamu sekarang? Kenapa nggak pernah bilang kalo
lagi chatting?” tanyaku kemudian.
Seira tersenyum lebar. Aku senang melihatnya seperti itu.
Aku menenangkan hatiku ketika melihat Seira yang semangat
menceritakan pacarnya padaku. Aku sadar sejak awal aku menyayanginya, dan
sampai kapanpun perasaan sayangku padanya tidak akan pernah hilang.
Dan
perasaan sayang ini, bukan bicara tentang laki-laki terhadap perempuan.
“Aku ajak kamu ketemu dia besok ya, Re?” ajaknya sumringah.
Aku mengangguk.
“Seira,” kataku serius. Dia memandangku lurus. “Aku tarik
kata-kataku untuk minta kamu tunggu aku. Tapi tolong janji satu hal padaku, apapun
yang terjadi, kita akan tetap seperti ini. Seandainyapun kita berjodoh, itulah
yang Tuhan berikan buat kita,” aku mengambil nafas sejenak.
“Aku rasa, biar takdir saja yang menjalankan kita nantinya.”
Comments
Post a Comment