KITA
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis yang diadakan Penerbit Haru. Info: penerbitharu.wordpress.com
Aku memandang kalender yang tergantung di depanku.
Hari yang sama, setahun yang lalu.
"Aku suka kamu,” aku
berkata sungguh-sungguh. Cowok di depanku termangu, sedetik, dua detik, tiga,
lalu terbahak sampai-sampai dia harus memegangi perutnya. Aku memandangnya
tajam.
Rega, sahabatku,
perlahan menghentikan tawanya. Mungkin dia sadar bahwa aku serius.
“Ehm, maaf Sei. Cuma
nggak biasanya aja kamu begini,” Rega kemudian tersenyum, menepuk puncak
kepalaku seperti biasa.
Mataku memanas,
tanganku mulai berkeringat dingin, kakiku gemetaran, dan yang pasti jantungku
berdegup tidak karuan. Otakku mulai membunyikan sirinenya, mengutuk keras-keras
pernyataan barusan, ini salah!
Rega menyadari
gelagatku. Dia hanya menggandeng tanganku.
“Pulang, yuk,” dia
berkata ringan, seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Rega tidak pernah menjawab pernyataanku saat itu. Aku juga
mendadak tidak ingin mendengar jawabannya.
Rega itu sahabatku. Kami berteman sejak kecil. Aku ingat
saat SD dulu, temanku Nina memakai tas yang sama persis denganku. Aku jengkel
sekali. Lalu Rega hanya menepuk puncak kepalaku, dia bilang, “Santai, bukan masalah besar kan?”
Ada lagi yang kuingat, suatu ketika saat kenaikan kelas II
SMP. Aku terpaku melihat nilai-nilaiku yang tiba-tiba menjadi di bawah
rata-rata. Aku terlalu gengsi untuk menangis saat itu, meskipun rasanya sudah
sesak sekali. Rega mendekat, berdiri di sampingku sambil menepuk-nepuk puncak
kepalaku. Dia bilang, “Boleh kok nangis
tapi bentar aja, karena kita butuh lebih banyak energi buat bangkit lagi.”
Aku ingat, saat itu aku hanya menatapnya. Air mataku yang bicara.
Setelah kejadian setahun lalu, tetap saja Rega itu sahabatku
yang masih selalu berdiri di gerbang tiap sore untuk menungguku pulang. Masih
selalu melongok ke dalam kelasku untuk sekedar melambaikan tangannya. Masih
selalu menepuk puncak kepalaku saat kami berpapasan. Rega masih melakukan
hal-hal remeh temeh itu.
Tapi bagiku tetap ada yang kurang karena Rega tidak lagi
menggodaku dengan gurauan tidak lucunya, tidak lagi sedikit-sedikit mengoceh
tentang orang-orang yang sedang bersliweran di depan kami, tidak lagi tiba-tiba
menyeret tanganku menuju kantin untuk minta ditraktir, dan lain-lain yang
sampai detik ini kadang aku merindukannya.
Aku sempat menyesali lancangnya mulutku setahun yang lalu. Tapi
semakin lama aku menyadari apa yang kulakukan tidak salah. Kalau saja saat itu
aku tidak berbuat kesalahan dengan
seenaknya mengungkapkan perasaanku padanya, mungkin sampai saat ini aku masih
menyembunyikan perasaan itu di balik persahabatan kami, dan kupikir pasti akan menyesakkan.
Sebulan yang lalu, di suatu malam, tiba-tiba dia datang ke
rumahku.
“Sei, maaf untuk setahun ini. Kamu pasti juga ngerasa ada
yang aneh di antara kita kan? Sejak kamu bilang suka, aku ngerasa canggung aja
sama kamu. Takut kamu berharap lebih sama aku. Ini bukan ge-er lho ya,”
katanya. Aku tertawa.
“Nggak apa-apa kok. Aku juga minta maaf karena seenaknya
waktu itu, nggak berpikir tentang gimana perasaanmu juga.”
“Mulai sekarang, kita bisa kan kayak dulu lagi? Aku kangen kita
yang dulu,” katanya sambil tersenyum lebar. Tangannya menggantung di hadapanku.
Aku menatapnya sesaat lalu menjabat tangan sahabatku erat.
Hari ini Rega berangkat ke Jerman. Dia memilih melanjutkan
studi di sana. Kemarin dia datang padaku dengan wajah memelasnya, memintaku
mengantarnya sampai bandara.
“Hai,” sapaku riang.
Rega tersenyum lebar seperti biasanya.
“Jangan kangen aku ya, cengeng,” katanya sambil menepuk
puncak kepalaku. Aku mencibir.
Kemudian, masih ada setengah jam lagi sebelum Rega
benar-benar berangkat. Kami bernostalgia sebentar, sampai kemudian Rega menyinggung
suatu hal.
“Inget ini tanggal berapa? Inget apa yang kamu lakukan
setahun yang lalu?” katanya. Mukaku memerah.
“Makasih ya, Sei. Aku seneng banget disukai sama seorang
Seira. Bentar lagi kita bakal jarang ketemu nih. Aku cuma mau bilang, tunggu
aku pulang ya?” katanya sambil tersenyum lebar.
Rega melambaikan tangannya kuat-kuat padaku, masih dengan
senyum lebarnya. Aku tidak bisa mengerti maksudnya. Tapi, tetap saja aku membalas
senyumnya.
Kurasa, biar saja takdir memperjalankan kita nantinya.
Kalau kita takut melakukan kesalahan, selamanya kita akan berjalan di tempat
aku suka ini "Boleh kok nangis tapi bentar aja, karena kita butuh lebih banyak energi buat bangkit lagi".
ReplyDeleteaku suka karakter rega, tapi dlm waktu yg sama aku jg membencinya, hehe..