Your True Love Will Come To You, Believe Me!
By Cupid
“Kiri, Bang!” teriak Meg gusar. Ibu penumpang yang berdiri
tepat di sampingnya mengomel dengan suara pelan. Meg nyengir lebar sambil
menganggukkan kepalanya pada ibu penumpang tadi dan beringsut turun dari bis.
Meg menghembuskan nafas lega begitu keluar dari bis yang
padat berisi tadi. Sambil merapikan kemejanya, Meg berjalan masuk menuju mall
besar di depannya. Kakinya melangkah cepat menuju Starbucks Coffee dan melongokkan kepalanya ke dalam.
Seorang perempuan berkucir kuda yang melihat Meg datang,
melambaikan tangannya kuat-kuat. Perempuan di depannya menoleh ke arah Meg dan
tersenyum lebar. Meg yang kemudian melihat mereka langsung berlari kecil
menghampiri.
“Geng!” Meg menghempaskan pantatnya begitu sampai di hadapan
dua perempuan tadi.
“Lama bener kuliah?” tanya Saras, si perempuan berkucir
kuda.
“Nggak Ras. Bisnya aja ngetem di mana-mana,” Meg memberi
alasan. Dia mengambil gelas terdekat di depannya dan menyeruputnya
banyak-banyak sampai Sabrina –perempuan satunya lagi- menepuk punggung tangan
Meg cukup keras. Meg hampir saja menyemburkan minumannya gara-gara Sabrina.
“Beli sendiri dong,” tegur Sabrina kecut. Meg mencibir tapi
bangkit juga dari duduknya menuju kasir.
Meg kembali duduk dengan segelas besar hazelnut dan sepotong
tiramisu.
“Laper,” kata Meg tanpa diminta lalu mulai menyendok
tiramisunya. Saras menjitak kepala Meg keras. Meg lagi-lagi hampir menyemburkan
makanan dalam mulutnya. Dia mendelik ke arah dua sahabatnya yang sekarang
sedang terbahak melihatnya.
“Siapa mau mulai curhat duluan?” tanya Meg mengalihkan
perhatian. Dia paling tidak suka terlihat bodoh di depan sahabat-sahabatnya
itu.
“Duh pinternya ngalihin topik,” sindir Sabrina sambil
sesekali tertawa.
“Kita bahkan belum ngomongin apapun, Sab,” cibir Meg.
Sabrina kemudian diam dan mengangguk-angguk.
“Udah, udah. Aku duluan deh yang cerita,” Saras menengahi.
“Aku dulu, please?” tiba-tiba Sabrina menyela. Saras yang
baru mau membuka mulutnya langsung mengatupkannya lagi. Saras melirik Meg
kemudian mereka mengangguk.
“Kasih selamat buat aku karena derita cinta bertepuk sebelah
tanganku masih berlanjut,” kata Sabrina kecut. Tangan Meg berhenti menyendok,
dan mulai memperhatikan Sabrina. Saras melipat tangannya kemudian menyandarkan
punggung, menunggu kelanjutan cerita Sabrina.
“Mana selamatnya?” tanya Sabrina. Dia nyengir miris. Meg dan
Saras berpandangan sesaat.
“Congrats then!”
ucap mereka bebarengan. Sabrina kemudian tertawa.
“Udah gila ini anak,” komentar Meg sambil menggelengkan kepala
heran.
“Diem!” hardik Sabrina. “Anyway
thanks ucapannya,” lanjutnya sambil kembali tertawa.
“Jadi, hari ini gebetan baru aja dapet jawaban atas
pernyataan cintanya. Si cewek yang sok jual mahal karena udah ngegantung
gebetan lebih dari seminggu itu akhirnya bilang iya juga. Kesenengan kali dia
ditembak cowok terkeren di fakultas,” Sabrina tersenyum kecut.
“Mau move on ke
siapa lagi sekarang?” sela Saras. Sabrina menatapnya sebentar, lalu menghela
nafas.
“Jadi takut, Ras. Lama-lama jadi kayak kamu nih. Mulai
mempertanyakan cinta itu sebenernya ada nggak sih?” hela Sabrina kosong.
“Masa cinta sesama manusia cuma berlaku buat orangtua ke
anak dan sebaliknya aja?”
“Satu-satunya cinta yang dipercaya Saras,” celetuk Meg
sambil menyeruput hazelnutnya yang tinggal separuh. Saras tertawa hambar.
“Kamu harusnya mikir Ras. Orangtua buat bikin anak juga
musti ada cinta tuh. Cinta laki-laki dan perempuan,” sahut Meg lagi sambil
tertawa. Saras menjitak kepala Meg lagi. Meg meringis mengusap kepalanya.
“Kalo itu mah, buat Saras kayaknya nggak butuh cinta buat
bikin anak. Tinggal kalo udah ada anak aja, baru deh ngebangun cinta buat
anaknya. Makanya cinta yang dia percaya cuma cinta orangtua buat anaknya,”
Sabrina menimpali. Saras tersenyum kecut.
“Lanjutin dulu ceritanya, Sab!” perintah Saras yang
tiba-tiba terpojok. Meg dan Sabrina hanya tertawa melihatnya.
“Yah, intinya sih. Patah hati lagi,” Sabrina mengambil
gelasnya dan menandaskan jus mangganya.
“Marlo itu gebetan yang paling deket sama kamu ya?” tanya
Meg. Sabrina mengangguk.
“Jadi patah hatinya kali ini agak berlebihan?” tambah Saras.
Sabrina mengerjap lalu mengangkat bahunya. Senyumnya terasa aneh kali ini.
Matanya menerawang.
“Mungkin.” Jawaban Sabrina cukup membuat Meg dan Saras
terdiam. Mereka memandangi Sabrina yang tiba-tiba melamun.
Cewek cantik, tinggi,
putih, rambut panjang halus terurai, gambaran ideal para cowok. Punya talenta
di bidang seni, bidang yang paling banyak disukai cowok. Punya senyum ramah dan
berkepribadian sesupel Sabrina ini aja susah banget dapet cowok. How about me,
then?
Itu kata Meg dalam hati.
Dikelilingi
cowok-cowok keren. Berkali-kali jatuh cinta sama cowok keren lainnya.
Berkali-kali juga usaha pedekatenya seolah berhasil. Tapi berkali-kali juga
patah hati. Sabrina emang paling menarik di antara kita, tapi dia yang paling
sering patah hati. Any other reasons to believe in love?
Itu kata Saras, juga dalam hati.
“Cut!” Meg
menghentikan kesunyian yang tiba-tiba hadir di antara mereka.
“Katanya mau cerita Ras?” tanya Meg.
“Kayak moderator aja,” sahut Sabrina yang mulai kembali ke
dunia nyata. Meg nyengir.
“Kemarin aku ditangisin Thalita gara-gara dia sama Jason
putus,” cerita Saras. Meg membulatkan matanya.
“Thalita temen SMA kita dulu itu?” tanya Meg tidak percaya.
Saras mengangguk.
“Gila! Bukannya katanya mereka pacaran dari kelas 3 SMP
tuh?” sela Sabrina, sama tidak percayanya.
“Persis!” kata Saras.
“Thalita bilang, di anniversary-nya
yang ke tujuh tahun, Jason minta putus,” kata Saras. Senyum miringnya membuat
orang lain merinding.
“Nggak ada yang bisa jamin, selama apapun orang pacaran
pasti naik ke pelaminan. Nggak ada!” jelas Saras semangat.
“Ah, palingan juga bentar lagi mereka balikan, Ras,” kata
Meg ringan, setelah tadi berusaha menepis rasa kagetnya.
“Nggak bakal, Meg. Udah tiga bulanan komunikasi mereka nggak
lancar. Udah gitu, dalam kurun waktu tiga bulan itu, Jason bahkan udah
digosipin sama cewek lain. You know who
is she, geng?” lanjut Saras.
Meg dan Sabrina menatap Saras antusias.
“Kinan.” Jawaban Saras membuat rahang bawah kedua sahabatnya
turun seketika.
“Kinan yang itu?” tanya Meg tidak percaya. Dia sampai tidak
bisa mendeskripsikan Kinan, teman SMA mereka juga.
“Iya. Kinan yang itu. Kinan yang super kalem. Kinan yang
selalu ada di samping Thalita. Kinan yang selalu dibangga-banggain Thalita
sebagai sahabat terbaiknya. Iya, Kinan yang itu,” kata Saras. Dia tersenyum.
“Gosip doang kali,” sahut Sabrina, mencoba berpositive thinking.
“Nope.”
“Aku pernah beberapa kali mergokin mereka berduaan di
pojokan parkiran fakultas,” Saras tersenyum ngeri.
“Seriusan?”
“Ngapain?”
Sabrina dan Meg bereaksi spontan. Saras terkejut
mendengarnya lalu tertawa.
“First time, second, third, any
other times cuma liat mereka kayaknya ngobrol, tapi beberapa kali liat
Jason elus-elus kepala Kinan sambil mereka pegangan tangan gitu. Last time aku liat mereka pelukan,” jelas
Saras. Mata kedua sahabatnya seolah mau meloncat keluar. Saras yang melihatnya
terbahak-bahak.
“Kinan beneran?”
“Seorang Kinan ini?”
“Jason gila juga, selingkuh sama sahabat pacarnya sendiri.”
“Parah banget!”
Saras semakin terpingkal mendengar debat kecil kedua
sahabatnya. Melihat Saras terpingkal begitu, Meg dan Sabrina menghentikan
keterkejutan mereka.
“Kamu nggak ngarang kan, Ras?”
“Fitnah lebih kejam daripada nggak ngefitnah lho, Ras.”
Saras yang sedang berusaha menghentikan tawanya hanya
mengangguk-angguk kecil.
“Beneran kok. Aku saksi hidup perselingkuhan Jason. Aku juga
saksi hidup gimana Thalita sangat terluka gara-gara pemutusan sepihak plus
gosip tentang Jason,” Saras mengatur wajahnya yang masih ingin terbahak.
“Kenapa last time-nya
pas agak klimaks begitu sih?” celetuk Meg.
Saras lalu terdiam seketika.
“Karena aku nggak bisa ngebiarin mereka main di belakang
Thalita terus begitu,” ucap Saras serius.
“Kamu apain mereka?” tanya Sabrina.
“Waktu itu aku mau ambil motor. Pas mereka lagi pelukan gitu,
aku udah panas nih. Kesel banget aja gitu.
Aku lempar botol kosong yang baru
mau aku buang.”
Saras mengamati respon Meg dan Sabrina yang masih serius
mendengar ceritanya.
“Mereka kaget. Mereka sama-sama salah tingkah. Aku sok
berani aja ngedeketin mereka.”
Saras berhenti lagi. Dia kembali mengamati mimik kedua
sahabatnya yang tetap serius mendengar ceritanya.
“Haaah kalian ini,” hela Saras.
“Intinya aku marah-marahin mereka lah. Aku bilangin jangan cuma
berani main di belakang. Aku bilangin juga ke Jason bahwa cowok gentle itu nggak akan selingkuh, mereka
bakal setia sama satu orang.”
Saras berhenti. Dia menyandarkan punggungnya. Meg dan
Sabrina perlahan mencairkan mimik mereka.
“Hebat juga buat seorang yang nggak percaya cinta bisa
ngomong begitu ya, Meg?”
“Aku mulai ragu, Sab. Mungkin orang ini sebenernya bukan
nggak percaya cinta. Tapi trauma berat karena imajinasi cinta pertamanya yang
harusnya indah seperti taman bunga pada akhirnya kandas.”
Saras mendelik ke arah mereka.
“Aku kasih tahu ya. Jodoh itu pasti. Nggak perlu cari cinta
sebelum jodoh datang. Kalo jodoh udah di depan mata, baru bangun cinta. Biar
nggak ada lagi sakit-sakit hati karena cinta,” petuah Saras kemudian.
“Heh! Kalo ngomong pake otak juga, Ras! Mana tau kita
seseorang itu jodoh kita apa bukan,” sanggah Sabrina. Meg mengangguk-angguk.
“Emang nantinya bakal ada cowok yang pake cocard tulisannya JODOH SABRINA atau
PUNYA SARAS atau MEG’S SOULMATE gitu?” lanjut Sabrina. Meg mengangguk-angguk
lagi.
“Nggak tahu deh. Sementara teori aku begitu kok,” sangkal
Saras acuh.
“Udah deh udah. Ujung-ujungnya pada berantem juga nih,” Meg
menengahi.
“Bersyukur aja kalian udah pernah ngerasain jatuh cinta. Wish me feel that same aja yah,” kata
Meg memelas. Sabrina dan Saras memusatkan perhatian pada Meg. Mereka menepuk
pundak Meg keras. Meg sampai meringis kesakitan.
“Buruan! Kamu satu-satunya orang yang cuma dengerin kalo
kita cerita tentang cinta. Betah banget,” cibir Sabrina.
“Jangan terburu-buru. Ntar cepet patah hatinya kayak nona always-broken-hearted ini,” lanjut Saras
sambil menunjuk Sabrina dengan dagunya.
“Geblek!” Sabrina memukul bagian samping kepala Saras dengan
gulungan kertas hand out kuliahnya.
Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak.
Pengunjung Starbucks
Coffee mulai mencuri-curi pandang ke arah mereka. Termasuk tiga pasang mata
yang sejak awal memperhatikan mereka, tertarik pada setiap tingkah dan obrolan
mereka.
Cocard dari
malaikat sudah dipasang di dada mereka. Untuk pemilik mata berpelindung, sudah
bertuliskan JODOH SABRINA. Untuk pemilik mata tanpa lipatan bertuliskan PUNYA
SARAS. Untuk pemilik mata berbinar ceria bertuliskan MEG’S SOULMATE.
Mereka hanya menunggu sampai peri cinta menautkan tali
takdir mereka.
Cupidtriiii...
ReplyDeleteAku boleh request gg?? Lanjutin donk cerita ini. Seruu!! Hahahaha :D
Menarik. Karakter ketiganya oke gilee, koplak, seruu, hahaha xD
Mau tanya deh, kenapa itu tempatntya di starbucks?? jadi inget kamu ma nop2 nongkrong di starbucks, hohohoho. lanjutin pid!!!
Oh ya sekalian, bakatmu menulis dialnjutkan untuk menciptakan novel!!!
Semangat!!!
cupiit :* ngestarbucks lagi yook, tapi jangan bertiga doang, sama junce dan acico juga hahaha
ReplyDelete